AJARAN-AJARAN CONFUCIUS
Lebih tepat disebut sebagai ajaran daripada tulisan, karena banyak sekali buah karya Confucius terutama "Buku Kumpulan Ujaran [The Analects = Lun Yu]" yang ditulis kembali oleh murid-muridnya setelah Beliau meninggal dunia.
Berbagai terjemahan atas ajaran Confucius telah dilakukan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran-ajaran Confucius tersebar ke negara-negara di luar Tiongkok, bahkan tidak sedikit yang mempengaruhi kebudayaan mereka.Pengaruh ajaran Confucius berkembang pesat di Eropa dan Amerika, dimana dapat dilihat semboyan revolusi Perancis yang terkenal, yaitu Liberty (kebebasan), Equality (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan), yang berasal dari ajaran kemanusiaan (Humanism) Confucius.
Demikian juga Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) sangat terpengaruh oleh ajaran Confucius, dimana dalam diskusi pembahasan naskah tersebut, Thomas Jefferson sendiri mengakuinya.
Negara-negara Asia paling banyak menerima pengaruh ajaran Confucius, terutama negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Taiwan.
Dari hasil riset ke dalam situs jaringan (Web Sites) di internet yang Penyusun lakukan, membuktikan bahwa sampai saat ini ajaran-ajaran Confucius masih diakui dan dipelajari secara meluas terutama di luar Asia.
Secara garis besar, Confucius membagi proses ajarannya melalui 4 tahapan, yaitu :
1. Mengarahkan pikiran kepada cara.
2. Mendasarkan diri pada kebajikan.
3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan.
4. Mencari rekreasi dalam seni.
Lebih tepat disebut sebagai ajaran daripada tulisan, karena banyak sekali buah karya Confucius terutama "Buku Kumpulan Ujaran [The Analects = Lun Yu]" yang ditulis kembali oleh murid-muridnya setelah Beliau meninggal dunia.
Berbagai terjemahan atas ajaran Confucius telah dilakukan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran-ajaran Confucius tersebar ke negara-negara di luar Tiongkok, bahkan tidak sedikit yang mempengaruhi kebudayaan mereka.Pengaruh ajaran Confucius berkembang pesat di Eropa dan Amerika, dimana dapat dilihat semboyan revolusi Perancis yang terkenal, yaitu Liberty (kebebasan), Equality (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan), yang berasal dari ajaran kemanusiaan (Humanism) Confucius.
Demikian juga Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) sangat terpengaruh oleh ajaran Confucius, dimana dalam diskusi pembahasan naskah tersebut, Thomas Jefferson sendiri mengakuinya.
Negara-negara Asia paling banyak menerima pengaruh ajaran Confucius, terutama negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Taiwan.
Dari hasil riset ke dalam situs jaringan (Web Sites) di internet yang Penyusun lakukan, membuktikan bahwa sampai saat ini ajaran-ajaran Confucius masih diakui dan dipelajari secara meluas terutama di luar Asia.
Secara garis besar, Confucius membagi proses ajarannya melalui 4 tahapan, yaitu :
1. Mengarahkan pikiran kepada cara.
2. Mendasarkan diri pada kebajikan.
3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan.
4. Mencari rekreasi dalam seni.
Beliau menyusun 8 prinsip belajar, mendidik diri sendiri dan hubungan social, yaitu :
1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke'-wu)
2. Bersikap Jujur
3. Mengubah pikiran kita
4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen)
5. Mengatur keluarga sendiri
6. Mengelola negara
7. Membawa perdamaian di dunia.
Confucius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu :
- Kelakuan adalah syarat utama,
- Berbicara adalah prioritas kedua,
- Memahami soal-soal Pemerintahan adalah prioritas ketiga,
- Kesusasteraan adalah prioritas keempat.
Ajaran-ajaran Confucius telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar kebudayaan China baik kehidupan berumah-tangga, sosial ataupun politik.
Walaupun ajaran Confucius telah menjadi suatu ideologi resmi di Tiongkok, namun ajaran Beliau tidaklah dapat dianggap sebagai suatu organisasi keagamaan dengan gereja dan pendeta sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama resmi lainnya.
Para cendekiawan China menghormati Confucius sebagai seorang Guru Agung dan Orang Suci tetapi tidak menyembahnya sebagai dewa. Demikian juga Confucius tidak pernah menyatakan dirinya sebagai utusan Ilahi. Namun dalam perkembangannya lebih lanjut, yang dipengaruhi oleh ajaran Taoisme saat itu, Confucius juga dipuja sebagai salah satu Dewa Pendidikan dalam vihara para Taois.
Di Indonesia, para umat Confucius sampai saat ini masih berjuang agar dapat diakui sebagai salah satu agama resmi negara dengan alasan bahwa ajaran Confucius menegaskan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun di negara Barat, ajaran Confucius lebih dipandang sebagai suatu ajaran moralitas yang menekankan kebangkitan diri sejati dalam bertingkah laku secara sopan dan berkepatutan serta pencurahan rasa bhakti yang tinggi terhadap orang tua, istri, anak, saudara, teman, atasan, dan pemerintahan.
Prinsip ajaran Confucius tertuang dalam sembilan karya kuno China yang diturunkan oleh Confucius dan pengikutnya yang hidup pada masa pengajaran Beliau. Karya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama, yaitu Empat Buku (Shih Shu) dan Lima Kitab (Wu Cing).
Kata kunci utama etika para pengikut Confucius adalah JEN, yang dapat diterjemahkan secara bervariasi sebagai Cinta Kasih, Moralitas, Kebajikan, Kebenaran, dan Kemanusiaan. Jen merupakan perwujudan akal budi luhur dari seseorang yang mana dalam hubungan antar manusia, Jen diwujudkan dalam cung, atau sikap menghormati terhadap seseorang (tertentu) ataupun orang lain (pada umumnya), dan shu, atau sikap mementingkan orang lain (altruisme) dimana terkenal dari ucapan Confucius sendiri, "Janganlah engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin engkau lakukan terhadap dirimu sendiri."
Ajaran Confucius lainnya yang penting adalah Kebenaran, Budi Pekerti, Kebijaksanaan, Kepercayaan, Bhakti, Persaudaraan, Kesetiaan, dan Kesadaran Diri.
Seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur tersebut maka layak disebut Budiman (C'un-Zi).
Ajaran politik yang dikembangkan oleh Confucius mengarah kepada suatu pemerintahan yang bersifat paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara haruslah menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberikan contoh yang benar kepada rakyat.
Dalam ajaran pendidikan, Confucius berpegang pada teori, yang diakui selama periode pemerintahan selama Beliau masih hidup, bahwa "Dalam pendidikan, tidak ada perbedaan kelas."
KUMPULAN BUKU / KITAB AJARAN CONFUCIUS
Kitab ajaran Confucius yang utama adalah Empat Buku [Shi Shu] dan Lima Kitab [Wu Cing]. Empat Buku merupakan suatu ajaran pokok yang ditulis oleh para pengikut Confucius sampai kehidupan Mencius. Sedangkan Lima Kitab merupakan kitab yang berasal dari era sebelum Confucius.
EMPAT BUKU [SHI SHU]
Buku tentang Jalan Tengah [Zhong Yong] dan Buku tentang Jalan Besar [Da Xue] termasuk dua bab dalam Li-chi telah menjadi suatu karya tersendiri dan bersama dengan Buku Kumpulan Ujaran [Lun Yu] dan Pokok Pelajaran Mencius [Meng Zi], telah dipakai sebagai kurikulum pokok dalam pendidikan para pengikut Confucius selama berabad-abad sebelum kelahiran Chu Hsi (1130 - 1200), seorang filsuf Neo-Confucian yang terbesar sesudah era Mencius (371 - 289 SM).
Kemudian oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dirangkaikan dengan urutan, Da Xue, Lun Yu, Meng Zi dan Chung Yung , dan diterbitkan menjadi satu buku dengan sebutan Shih Shu (Empat Buku). Urutan tersebut tidak konsisten adanya, karena terdapat juga banyak referensi lainnya yang tidak berurutan seperti itu. Empat Buku yang mendapatkan kedudukan di atas Lima Kitab telah menjadi naskah rujukan pokok dalam bidang pendidikan dan ujian negara selama beberapa generasi dalam sejarah Tiongkok semenjak abad ke-14.
Sehingga Empat Buku tersebut telah menciptakan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rakyat Tiongkok sejak 600 tahun yang silam. Chu Hsi juga tercatat dalam sejarah sebagai seorang Confucianis yang juga mempelajari dengan baik ajaran Buddhisme dan Taoisme.
1. Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning / Da Xue)
Buku tentang Pelajaran Besar merupakan suatu naskah yang ditulis oleh murid Confucius angkatan pertama Tseng Zi.
Selama berabad-abad naskah tersebut hanya dikenal sebagai salah satu bab dalam Li Chi (Kumpulan Ritual), satu dari Lima Kitab dalam Confucianisme, sampai akhirnya oleh Chu Hsi mempublikasikan naskah tersebut secara terpisah dan dikelompokkan dalam Shi Shu. Buku ini merupakan suatu buku panduan pembinaan diri dengan moralitas tinggi di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Da Xue menyatakan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai apabila seorang pemimpin negara tidak terlebih dahulu mengatur negaranya sendiri secara teratur. Demikian juga tidak terdapat seorang pemimpin yang dapat melakukan hal tersebut sebelum tercapai keteraturan rumah tangganya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dunia pada akhirnya ditunjukkan oleh sifat luhur dalam kehidupan pribadinya. Sifat luhur ini merupakan suatu akibat alamiah hasil perkembangan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil penelaahan terhadap segala sesuatu.
Da Xue memandang bahwa pemerintahan yang baik dan kedamaian dunia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat luhur pribadi seorang pemimpin yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebijaksanaan.
Dalam kata pembukaan Da Xue, dijelaskan oleh Chu Hsi bahwa rangkaian pandangan tersebut mencerminkan pertumbuhan pribadi seseorang. Setiap individu haruslah mengolah sifat Kebajikan [Jen] , Keadilan [ i ], Sopan Santun [ Li ], dan Kebijaksanaan [ Chih ], tetapi sifat luhur tersebut sulit untuk dapat dikembangkan secara berkeseimbangan.
1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke'-wu)
2. Bersikap Jujur
3. Mengubah pikiran kita
4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen)
5. Mengatur keluarga sendiri
6. Mengelola negara
7. Membawa perdamaian di dunia.
Confucius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu :
- Kelakuan adalah syarat utama,
- Berbicara adalah prioritas kedua,
- Memahami soal-soal Pemerintahan adalah prioritas ketiga,
- Kesusasteraan adalah prioritas keempat.
Ajaran-ajaran Confucius telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar kebudayaan China baik kehidupan berumah-tangga, sosial ataupun politik.
Walaupun ajaran Confucius telah menjadi suatu ideologi resmi di Tiongkok, namun ajaran Beliau tidaklah dapat dianggap sebagai suatu organisasi keagamaan dengan gereja dan pendeta sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama resmi lainnya.
Para cendekiawan China menghormati Confucius sebagai seorang Guru Agung dan Orang Suci tetapi tidak menyembahnya sebagai dewa. Demikian juga Confucius tidak pernah menyatakan dirinya sebagai utusan Ilahi. Namun dalam perkembangannya lebih lanjut, yang dipengaruhi oleh ajaran Taoisme saat itu, Confucius juga dipuja sebagai salah satu Dewa Pendidikan dalam vihara para Taois.
Di Indonesia, para umat Confucius sampai saat ini masih berjuang agar dapat diakui sebagai salah satu agama resmi negara dengan alasan bahwa ajaran Confucius menegaskan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun di negara Barat, ajaran Confucius lebih dipandang sebagai suatu ajaran moralitas yang menekankan kebangkitan diri sejati dalam bertingkah laku secara sopan dan berkepatutan serta pencurahan rasa bhakti yang tinggi terhadap orang tua, istri, anak, saudara, teman, atasan, dan pemerintahan.
Prinsip ajaran Confucius tertuang dalam sembilan karya kuno China yang diturunkan oleh Confucius dan pengikutnya yang hidup pada masa pengajaran Beliau. Karya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama, yaitu Empat Buku (Shih Shu) dan Lima Kitab (Wu Cing).
Kata kunci utama etika para pengikut Confucius adalah JEN, yang dapat diterjemahkan secara bervariasi sebagai Cinta Kasih, Moralitas, Kebajikan, Kebenaran, dan Kemanusiaan. Jen merupakan perwujudan akal budi luhur dari seseorang yang mana dalam hubungan antar manusia, Jen diwujudkan dalam cung, atau sikap menghormati terhadap seseorang (tertentu) ataupun orang lain (pada umumnya), dan shu, atau sikap mementingkan orang lain (altruisme) dimana terkenal dari ucapan Confucius sendiri, "Janganlah engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin engkau lakukan terhadap dirimu sendiri."
Ajaran Confucius lainnya yang penting adalah Kebenaran, Budi Pekerti, Kebijaksanaan, Kepercayaan, Bhakti, Persaudaraan, Kesetiaan, dan Kesadaran Diri.
Seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur tersebut maka layak disebut Budiman (C'un-Zi).
Ajaran politik yang dikembangkan oleh Confucius mengarah kepada suatu pemerintahan yang bersifat paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara haruslah menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberikan contoh yang benar kepada rakyat.
Dalam ajaran pendidikan, Confucius berpegang pada teori, yang diakui selama periode pemerintahan selama Beliau masih hidup, bahwa "Dalam pendidikan, tidak ada perbedaan kelas."
KUMPULAN BUKU / KITAB AJARAN CONFUCIUS
Kitab ajaran Confucius yang utama adalah Empat Buku [Shi Shu] dan Lima Kitab [Wu Cing]. Empat Buku merupakan suatu ajaran pokok yang ditulis oleh para pengikut Confucius sampai kehidupan Mencius. Sedangkan Lima Kitab merupakan kitab yang berasal dari era sebelum Confucius.
EMPAT BUKU [SHI SHU]
Buku tentang Jalan Tengah [Zhong Yong] dan Buku tentang Jalan Besar [Da Xue] termasuk dua bab dalam Li-chi telah menjadi suatu karya tersendiri dan bersama dengan Buku Kumpulan Ujaran [Lun Yu] dan Pokok Pelajaran Mencius [Meng Zi], telah dipakai sebagai kurikulum pokok dalam pendidikan para pengikut Confucius selama berabad-abad sebelum kelahiran Chu Hsi (1130 - 1200), seorang filsuf Neo-Confucian yang terbesar sesudah era Mencius (371 - 289 SM).
Kemudian oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dirangkaikan dengan urutan, Da Xue, Lun Yu, Meng Zi dan Chung Yung , dan diterbitkan menjadi satu buku dengan sebutan Shih Shu (Empat Buku). Urutan tersebut tidak konsisten adanya, karena terdapat juga banyak referensi lainnya yang tidak berurutan seperti itu. Empat Buku yang mendapatkan kedudukan di atas Lima Kitab telah menjadi naskah rujukan pokok dalam bidang pendidikan dan ujian negara selama beberapa generasi dalam sejarah Tiongkok semenjak abad ke-14.
Sehingga Empat Buku tersebut telah menciptakan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rakyat Tiongkok sejak 600 tahun yang silam. Chu Hsi juga tercatat dalam sejarah sebagai seorang Confucianis yang juga mempelajari dengan baik ajaran Buddhisme dan Taoisme.
1. Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning / Da Xue)
Buku tentang Pelajaran Besar merupakan suatu naskah yang ditulis oleh murid Confucius angkatan pertama Tseng Zi.
Selama berabad-abad naskah tersebut hanya dikenal sebagai salah satu bab dalam Li Chi (Kumpulan Ritual), satu dari Lima Kitab dalam Confucianisme, sampai akhirnya oleh Chu Hsi mempublikasikan naskah tersebut secara terpisah dan dikelompokkan dalam Shi Shu. Buku ini merupakan suatu buku panduan pembinaan diri dengan moralitas tinggi di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Da Xue menyatakan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai apabila seorang pemimpin negara tidak terlebih dahulu mengatur negaranya sendiri secara teratur. Demikian juga tidak terdapat seorang pemimpin yang dapat melakukan hal tersebut sebelum tercapai keteraturan rumah tangganya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dunia pada akhirnya ditunjukkan oleh sifat luhur dalam kehidupan pribadinya. Sifat luhur ini merupakan suatu akibat alamiah hasil perkembangan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil penelaahan terhadap segala sesuatu.
Da Xue memandang bahwa pemerintahan yang baik dan kedamaian dunia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat luhur pribadi seorang pemimpin yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebijaksanaan.
Dalam kata pembukaan Da Xue, dijelaskan oleh Chu Hsi bahwa rangkaian pandangan tersebut mencerminkan pertumbuhan pribadi seseorang. Setiap individu haruslah mengolah sifat Kebajikan [Jen] , Keadilan [ i ], Sopan Santun [ Li ], dan Kebijaksanaan [ Chih ], tetapi sifat luhur tersebut sulit untuk dapat dikembangkan secara berkeseimbangan.
2. Buku Kumpulan Ujaran (The Analects / Lun Yu)
Buku Kumpulan Ujaran ini merupakan kumpulan tulisan yang dilakukan oleh murid-muridnya, setelah Confucius meninggal dunia. Isinya berupa pembicaraan-pembicaraan dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Confucius kepada murid-muridnya, termasuk perkataan murid-muridnya yang berkaitan dengan kehidupan saat itu.
Tulisan ini berupa suatu gugusan pembicaraan yang terdiri dari 20 bab dengan pembagian alinea di masing-masing bab.
Lun Yu yang berarti 'Ujaran' dalam bahasa mandarin, adalah merupakan satu dari Empat Buku yang diterbitkan kembali dalam tahun 1190 oleh Chu Hsi dan merupakan karya klasik terbesar dalam Shih Shu (Empat Buku).
Lun Yu dipertimbangkan oleh para cendekiawan sebagai sumber yang paling dipercayai dalam doktrin Confucianisme, dan pada umumnya merupakan naskah pertama yang dipelajari oleh para pengikut ajaran Confucius. Buku ini berisi konsep etika dasar Confucius yang bersifat praktis seperti konsep : Kebajikan [Jen], Budiman [C'un Zi], Yang Maha Kuasa [Th'ien], Jalan Tengah [Chung Yung], Sopan Santun [Li], dan Kesempurnaan Nama [Cheng Ming].
Cheng Ming mencerminkan bahwa seseorang haruslah bertindak sesuai dengan kebenaran karena akan mempengaruhi nama baik seseorang, seperti perkawinan haruslah dipandang sebagai perkawinan yang benar bukan hanya sekedar untuk kumpul kebo.
Di antara berbagai ujaran dalam Lun yu yang disampaikan oleh Confucius, terdapat penjelasan mengenai Bhakti [Hsiao] yang berarti pencurahan rasa bhakti dengan tulus kepada orangtua, yang dikatakan oleh Confucius, bahkan anjing dan kuda juga memiliki sifat bhakti tersebut .
Sifat Bhakti tersebut tidak akan muncul tanpa penghormatan yang luhur terhadap orangtua. Lun Yu juga berisi ujaran Confucius mengenai kehidupan berumah tangga sebagaimana yang dicatat oleh murid-muridnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Lun Yu belumlah tersusun secara sistimatis, dan adakalanya terjadi pengulangan, bahkan terkadang terkesan kurang akurat ditinjau dari sisi sejarah.
Buku Kumpulan Ujaran ini merupakan kumpulan tulisan yang dilakukan oleh murid-muridnya, setelah Confucius meninggal dunia. Isinya berupa pembicaraan-pembicaraan dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Confucius kepada murid-muridnya, termasuk perkataan murid-muridnya yang berkaitan dengan kehidupan saat itu.
Tulisan ini berupa suatu gugusan pembicaraan yang terdiri dari 20 bab dengan pembagian alinea di masing-masing bab.
Lun Yu yang berarti 'Ujaran' dalam bahasa mandarin, adalah merupakan satu dari Empat Buku yang diterbitkan kembali dalam tahun 1190 oleh Chu Hsi dan merupakan karya klasik terbesar dalam Shih Shu (Empat Buku).
Lun Yu dipertimbangkan oleh para cendekiawan sebagai sumber yang paling dipercayai dalam doktrin Confucianisme, dan pada umumnya merupakan naskah pertama yang dipelajari oleh para pengikut ajaran Confucius. Buku ini berisi konsep etika dasar Confucius yang bersifat praktis seperti konsep : Kebajikan [Jen], Budiman [C'un Zi], Yang Maha Kuasa [Th'ien], Jalan Tengah [Chung Yung], Sopan Santun [Li], dan Kesempurnaan Nama [Cheng Ming].
Cheng Ming mencerminkan bahwa seseorang haruslah bertindak sesuai dengan kebenaran karena akan mempengaruhi nama baik seseorang, seperti perkawinan haruslah dipandang sebagai perkawinan yang benar bukan hanya sekedar untuk kumpul kebo.
Di antara berbagai ujaran dalam Lun yu yang disampaikan oleh Confucius, terdapat penjelasan mengenai Bhakti [Hsiao] yang berarti pencurahan rasa bhakti dengan tulus kepada orangtua, yang dikatakan oleh Confucius, bahkan anjing dan kuda juga memiliki sifat bhakti tersebut .
Sifat Bhakti tersebut tidak akan muncul tanpa penghormatan yang luhur terhadap orangtua. Lun Yu juga berisi ujaran Confucius mengenai kehidupan berumah tangga sebagaimana yang dicatat oleh murid-muridnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Lun Yu belumlah tersusun secara sistimatis, dan adakalanya terjadi pengulangan, bahkan terkadang terkesan kurang akurat ditinjau dari sisi sejarah.
3. Pokok-pokok pelajaran Mencius (The Principle of Mencius / Meng Zi)
Buku ini terdiri dari 7 jilid A dan B dimana merupakan suatu kumpulan tulisan ajaran dan percakapan Mencius dalam menjalani kehidupan pada saat itu dengan menegakkan kemurnian ajaran Confucius. Pendirian Mencius yang kukuh adalah mengungkapkan Cinta Kasih dan Kebenaran, menebarkan Jalan Suci dan Kebajikan, mengakui Yang Maha Esa (TAO).
Mencius merupakan salah satu filsuf pengikut Confucius yang terkenal dan hidup sekitar abad ke-4 SM serta mendapatkan julukan Ya Sheng atau Guru Agung Kedua.
Walaupun Buku Mencius belum dikenal secara umum sebagai suatu karya klasik sampai abad ke-12, namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada permulaan abad ke-2 SM terdapat suatu kumpulan para cendekiawan yang telah mengajarkan ajaran Mencius.
Chu Hsi mempublikasikan ajaran Mencius bersama tiga buku lainnya dalam tahun 1190 ke dalam kelompok Shih Shu.
Buku ini menekankan pemerintahan dan menguraikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah merupakan hal yang paling utama di atas segala-galanya. Apabila seorang pimpinan negara tidak lagi memiliki sifat Kebajikan [Jen] dan Keadilan [ i ], maka kewenangan dari Yang Maha Tinggi [Th'ien Ming] kepadanya telah ditarik, dan dia haruslah disingkirkan.
Mencius juga menyatakan bahwa Bhakti [Hsiao] merupakan dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bagi dia, perbuatan bhakti yang terbesar adalah yang dilakukan terhadap orangtua. Kepopuleran Mencius terutama berdasarkan hikayat yang timbul dalam kebudayaan China sebagaimana dalam contoh kiasannya, yang mengatakan bahwa karena manusia tunduk kepada Yang Maha Tinggi, maka sifat sejatinya cenderung baik sebagaimana sifat air yang selalu mengalir ke bawah.
Sebagai bukti atas hal tersebut, Mencius menyampaikan beberapa contoh antara lain, cinta sejati dari anak-anak terhadap orangtuanya, perasaan atas suatu perbuatan baik dan buruk yang dipahami secara universal, dan pengalaman sentakan ketika seseorang melihat seorang anak kecil dalam bahaya.
Doktrin mengenai sifat sejati tersebut ditolak dengan tegas oleh Hsun Zi pada abad ke-3 SM yang mengajarkan bahwa sifat alami manusia adalah egois dan buruk adanya sehingga harus belajar kebajikan melalui pendidikan yang benar. Posisi filsafat Mencius telah lama diterima sebagai suatu cerminan ortodok dari Confucianisme.
Buku ini terdiri dari 7 jilid A dan B dimana merupakan suatu kumpulan tulisan ajaran dan percakapan Mencius dalam menjalani kehidupan pada saat itu dengan menegakkan kemurnian ajaran Confucius. Pendirian Mencius yang kukuh adalah mengungkapkan Cinta Kasih dan Kebenaran, menebarkan Jalan Suci dan Kebajikan, mengakui Yang Maha Esa (TAO).
Mencius merupakan salah satu filsuf pengikut Confucius yang terkenal dan hidup sekitar abad ke-4 SM serta mendapatkan julukan Ya Sheng atau Guru Agung Kedua.
Walaupun Buku Mencius belum dikenal secara umum sebagai suatu karya klasik sampai abad ke-12, namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada permulaan abad ke-2 SM terdapat suatu kumpulan para cendekiawan yang telah mengajarkan ajaran Mencius.
Chu Hsi mempublikasikan ajaran Mencius bersama tiga buku lainnya dalam tahun 1190 ke dalam kelompok Shih Shu.
Buku ini menekankan pemerintahan dan menguraikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah merupakan hal yang paling utama di atas segala-galanya. Apabila seorang pimpinan negara tidak lagi memiliki sifat Kebajikan [Jen] dan Keadilan [ i ], maka kewenangan dari Yang Maha Tinggi [Th'ien Ming] kepadanya telah ditarik, dan dia haruslah disingkirkan.
Mencius juga menyatakan bahwa Bhakti [Hsiao] merupakan dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bagi dia, perbuatan bhakti yang terbesar adalah yang dilakukan terhadap orangtua. Kepopuleran Mencius terutama berdasarkan hikayat yang timbul dalam kebudayaan China sebagaimana dalam contoh kiasannya, yang mengatakan bahwa karena manusia tunduk kepada Yang Maha Tinggi, maka sifat sejatinya cenderung baik sebagaimana sifat air yang selalu mengalir ke bawah.
Sebagai bukti atas hal tersebut, Mencius menyampaikan beberapa contoh antara lain, cinta sejati dari anak-anak terhadap orangtuanya, perasaan atas suatu perbuatan baik dan buruk yang dipahami secara universal, dan pengalaman sentakan ketika seseorang melihat seorang anak kecil dalam bahaya.
Doktrin mengenai sifat sejati tersebut ditolak dengan tegas oleh Hsun Zi pada abad ke-3 SM yang mengajarkan bahwa sifat alami manusia adalah egois dan buruk adanya sehingga harus belajar kebajikan melalui pendidikan yang benar. Posisi filsafat Mencius telah lama diterima sebagai suatu cerminan ortodok dari Confucianisme.
4. Buku tentang Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean / Chung Yung)
Buku ini ditulis oleh Zi Shih (Khung Chi) , cucu Confucius yang kemudian disusun kembali oleh Chu Hsi menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian.
Buku ini berisi panduan pembinaan diri menempuh Jalan Suci dengan beriman kepada Yang Maha Tinggi [Th'ien] dengan menjalani FirmanNya dan bertindak-laku sebagai seorang Budiman Sejati.
Chung Yung yang berarti 'Tengah' atau 'Yang Tidak Berubah' adalah merupakan salah satu buku yang dipublikasikan kembali oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku). Chung Yung dipilih oleh Chu Hsi karena ketertarikannya akan hal-hal yang bersifat metafisikal dalam buku tersebut dimana juga telah lama menarik perhatian para Buddhis dan para pengikut Neo-Confucianis sebelumnya.
Dalam kata pengantarnya, Chu Hsi menyampaikan hasil karya tersebut sebagai karyanya Zi Shih, walaupun pada kenyataannya karya ini merupakan salah satu bagian dari Li Chi.
Zi Shih menyatakan bahwa Chung Yung merupakan tema pokok dalam ajaran Confucius. Dua karakter China dalam kata Chung Yung, sering juga diterjemahkan sebagai 'Jalan Tengah', mencerminkan suatu pemikiran Confucianis yang begitu luas, dan melingkupi hampir keseluruhan sifat keluhuran dari setiap hubungan dan kegiatan dalam kehidupan seseorang. Secara praktis, Chung Yung dapat dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diukur dalam arti kata bersifat sederhana, adil, obyektif, rasa hormat, ketulusan, kejujuran, sopan santun, seimbang, dan tanpa adanyaprasangka.
Sebagai contoh, hubungan dengan seorang teman tidaklah perlu harus terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Seseorang tidaklah harus bersikap berlebihan baik dalam duka ataupun suka, karena terlalu larut dalam duka akan menyakitkan, demikian juga apabila terlalu bergelimang dalam suka akan sulit dikendalikan. Seseorang haruslah melekat tanpa bergeming dalam usahanya menempuh Jalan Tengah tersebut di berbagai situasi dan waktu.
Sifat demikian sesuai dengan hukum alam yang merupakan inti dari kebenaran pada umumnya, dimana merupakan suatu ciri tersendiri dari seorang Budiman.
LIMA KITAB (FIVE CLASSICS / WU CING)
Penyalinan ulang Lima Kitab [Wu Cing] merupakan suatu perwujudan nyata dimulainya era tradisi Confucianisme. Pencantuman naskah pra-Confucianis yaitu Kitab tentang Sejarah [Shu Cing] dan Kitab tentang Sajak [Shi Cing], dan naskah Ch'in Han seperti bagian tertentu dari Kitab tentang Upacara [Li Chi], mencerminkan bahwa semangat dibalik kebangkitan rencana pendidikan inti terhadap ajaran Confucius adalah bersifat menyeluruh. Lima Kitab dapat diuraikan dalam lima konsep pandangan, yaitu metafisikal, politik, puisi, sosial, dan sejarah.
Wu Cing yang isinya sangat sulit dimengerti tersebut pada umumnya dipelajari setelah seseorang menguasai naskah yang ada dalam Empat Buku [Shih Shu]. Pada tahun 136 SM dalam masa pemerintahan dinasti Han, kaisar Wu-ti mengumumkan ajaran Confucius sebagai ideologi negara China.
Gelar Guru kehormatan [po shih] diberikan khusus kepada para pengajar yang diangkat untuk mengajar Wu Cing dimana hal ini masih terus berlanjut sampai memasuki abad ke-20. Pada tahun 124 SM, Wu Cing dimasukkan dalam kurikulum pelajaran inti di perguruan tinggi.
Keahlian dalam menyajikan dan menjelaskan naskah Wu Cing menjadi suatu persyaratan mutlak bagi para sarjana yang hendak menjabat di pemerintahan.
Wu Cing terdiri dari I Cing (Kitab tentang Kejadian/Perubahan), Shu Cing (Kitab tentang Sejarah), Shih Cing (Kitab tentang Sajak), Li Chi (Rangkaian Upacara), dan Ch'un Ch'iu (Riwayat Ch'un Ch'iu).
1. Kitab tentang Kejadian/Perubahan (The Book of Change / I Cing)
Kitab ini merupakan salah satu kitab tertua yang diperkirakan sudah ada sejak masa 1100 SM sebagai suatu kitab yang mengandung filsafat hidup yang tinggi dimana menghubungkan kejadian alam semesta dengan berbagai perubahan terhadap kehidupan sehari-hari. Sejarah di Tiongkok mencatat bahwa I Cing banyak dipakai oleh para peramal pada zaman dinasti untuk menasehati para penguasa selama masa perang antar negara. Kemungkinan kitab ini disusun kembali oleh Confucius dan murid-muridnya. Kitab ini terdiri dari 24.707 huruf terbagi atas 64 bab sesuai dengan jenis heksagram Yin (negatif) dan Yang (positif).
Pandangan metafisikal tercermin dalam kitab ini yang merupakan kombinasi seni peramalan dengan teknik perhitungan dan perenungan secara mendalam.
Sesuai dengan filosofi perubahan, alam semesta ini terus mengalami perubahan akbar yang disebabkan adanya interaksi konstan dua unsur energi yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, yaitu Yin (unsur negatif) dan Yang (unsur positif).
Alam semesta yang berasal dari perubahan akbar tersebut senantiasa mencerminkan kesatuan dan dinamisme tujuan.
Seorang Budiman akan senantiasa diilhami oleh keharmonisan dan kreativitas dari pergerakan alam semesta ini, sehingga dia dapat menguasai pola perubahan tersebut dengan cara senantiasa memadamkan usaha yang mementingkan diri sendiri (egois) sehingga tercapai realisasi pokok pikiran paling tinggi dalam penyatuan manusia dan Yang Maha Kuasa.
Naskah utama dalam I Cing dipercayai merupakan hasil karya Wen Wang (hidup sekitar abad ke-12 SM), seorang petapa dan perintis dinasti Chou.
Kitab ini berisi suatu pembahasan mengenai sistem peramalan yang dipergunakan oleh para peramal dinasti Chou.
Terdapat satu bagian pelengkap komentar yang dipercayai sebagai hasil karya para cendekiawan yang hidup pada masa Perang Negara (475 - 221 SM), dan dalam kedudukan filsafat dapat ditafsirkan sebagai suatu karya yang berusaha mencerminkan prinsip keberadaan alam semesta, sehingga karya ini dapat dianggap mengandung nilai sejarah filsafat China yang tinggi.
Bagaimanapun para sarjana modern merasa terusik atas keberadaan I Cing dalam kumpulan klasik ajaran Confucius dengan alasan Confucius selalu berusaha menghindari membicarakan sesuatu yang bersifat esoterik.
Hal ini dapat dimengerti karena para pengikut Confucius pada masa dinasti Han (sekitar abad ke-2 SM) yang sangat terpengaruh oleh praktek Taois mengenai kekekalan, telah melakukan penyesuaian penggunaan I Cing dengan menambahkan beberapa komentar sesuai ajaran Confucius.
Selanjutnya mereka memasukkan I Cing sebagai bagian dari Wu Cing.
Buku ini ditulis oleh Zi Shih (Khung Chi) , cucu Confucius yang kemudian disusun kembali oleh Chu Hsi menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian.
Buku ini berisi panduan pembinaan diri menempuh Jalan Suci dengan beriman kepada Yang Maha Tinggi [Th'ien] dengan menjalani FirmanNya dan bertindak-laku sebagai seorang Budiman Sejati.
Chung Yung yang berarti 'Tengah' atau 'Yang Tidak Berubah' adalah merupakan salah satu buku yang dipublikasikan kembali oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku). Chung Yung dipilih oleh Chu Hsi karena ketertarikannya akan hal-hal yang bersifat metafisikal dalam buku tersebut dimana juga telah lama menarik perhatian para Buddhis dan para pengikut Neo-Confucianis sebelumnya.
Dalam kata pengantarnya, Chu Hsi menyampaikan hasil karya tersebut sebagai karyanya Zi Shih, walaupun pada kenyataannya karya ini merupakan salah satu bagian dari Li Chi.
Zi Shih menyatakan bahwa Chung Yung merupakan tema pokok dalam ajaran Confucius. Dua karakter China dalam kata Chung Yung, sering juga diterjemahkan sebagai 'Jalan Tengah', mencerminkan suatu pemikiran Confucianis yang begitu luas, dan melingkupi hampir keseluruhan sifat keluhuran dari setiap hubungan dan kegiatan dalam kehidupan seseorang. Secara praktis, Chung Yung dapat dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diukur dalam arti kata bersifat sederhana, adil, obyektif, rasa hormat, ketulusan, kejujuran, sopan santun, seimbang, dan tanpa adanyaprasangka.
Sebagai contoh, hubungan dengan seorang teman tidaklah perlu harus terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Seseorang tidaklah harus bersikap berlebihan baik dalam duka ataupun suka, karena terlalu larut dalam duka akan menyakitkan, demikian juga apabila terlalu bergelimang dalam suka akan sulit dikendalikan. Seseorang haruslah melekat tanpa bergeming dalam usahanya menempuh Jalan Tengah tersebut di berbagai situasi dan waktu.
Sifat demikian sesuai dengan hukum alam yang merupakan inti dari kebenaran pada umumnya, dimana merupakan suatu ciri tersendiri dari seorang Budiman.
LIMA KITAB (FIVE CLASSICS / WU CING)
Penyalinan ulang Lima Kitab [Wu Cing] merupakan suatu perwujudan nyata dimulainya era tradisi Confucianisme. Pencantuman naskah pra-Confucianis yaitu Kitab tentang Sejarah [Shu Cing] dan Kitab tentang Sajak [Shi Cing], dan naskah Ch'in Han seperti bagian tertentu dari Kitab tentang Upacara [Li Chi], mencerminkan bahwa semangat dibalik kebangkitan rencana pendidikan inti terhadap ajaran Confucius adalah bersifat menyeluruh. Lima Kitab dapat diuraikan dalam lima konsep pandangan, yaitu metafisikal, politik, puisi, sosial, dan sejarah.
Wu Cing yang isinya sangat sulit dimengerti tersebut pada umumnya dipelajari setelah seseorang menguasai naskah yang ada dalam Empat Buku [Shih Shu]. Pada tahun 136 SM dalam masa pemerintahan dinasti Han, kaisar Wu-ti mengumumkan ajaran Confucius sebagai ideologi negara China.
Gelar Guru kehormatan [po shih] diberikan khusus kepada para pengajar yang diangkat untuk mengajar Wu Cing dimana hal ini masih terus berlanjut sampai memasuki abad ke-20. Pada tahun 124 SM, Wu Cing dimasukkan dalam kurikulum pelajaran inti di perguruan tinggi.
Keahlian dalam menyajikan dan menjelaskan naskah Wu Cing menjadi suatu persyaratan mutlak bagi para sarjana yang hendak menjabat di pemerintahan.
Wu Cing terdiri dari I Cing (Kitab tentang Kejadian/Perubahan), Shu Cing (Kitab tentang Sejarah), Shih Cing (Kitab tentang Sajak), Li Chi (Rangkaian Upacara), dan Ch'un Ch'iu (Riwayat Ch'un Ch'iu).
1. Kitab tentang Kejadian/Perubahan (The Book of Change / I Cing)
Kitab ini merupakan salah satu kitab tertua yang diperkirakan sudah ada sejak masa 1100 SM sebagai suatu kitab yang mengandung filsafat hidup yang tinggi dimana menghubungkan kejadian alam semesta dengan berbagai perubahan terhadap kehidupan sehari-hari. Sejarah di Tiongkok mencatat bahwa I Cing banyak dipakai oleh para peramal pada zaman dinasti untuk menasehati para penguasa selama masa perang antar negara. Kemungkinan kitab ini disusun kembali oleh Confucius dan murid-muridnya. Kitab ini terdiri dari 24.707 huruf terbagi atas 64 bab sesuai dengan jenis heksagram Yin (negatif) dan Yang (positif).
Pandangan metafisikal tercermin dalam kitab ini yang merupakan kombinasi seni peramalan dengan teknik perhitungan dan perenungan secara mendalam.
Sesuai dengan filosofi perubahan, alam semesta ini terus mengalami perubahan akbar yang disebabkan adanya interaksi konstan dua unsur energi yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, yaitu Yin (unsur negatif) dan Yang (unsur positif).
Alam semesta yang berasal dari perubahan akbar tersebut senantiasa mencerminkan kesatuan dan dinamisme tujuan.
Seorang Budiman akan senantiasa diilhami oleh keharmonisan dan kreativitas dari pergerakan alam semesta ini, sehingga dia dapat menguasai pola perubahan tersebut dengan cara senantiasa memadamkan usaha yang mementingkan diri sendiri (egois) sehingga tercapai realisasi pokok pikiran paling tinggi dalam penyatuan manusia dan Yang Maha Kuasa.
Naskah utama dalam I Cing dipercayai merupakan hasil karya Wen Wang (hidup sekitar abad ke-12 SM), seorang petapa dan perintis dinasti Chou.
Kitab ini berisi suatu pembahasan mengenai sistem peramalan yang dipergunakan oleh para peramal dinasti Chou.
Terdapat satu bagian pelengkap komentar yang dipercayai sebagai hasil karya para cendekiawan yang hidup pada masa Perang Negara (475 - 221 SM), dan dalam kedudukan filsafat dapat ditafsirkan sebagai suatu karya yang berusaha mencerminkan prinsip keberadaan alam semesta, sehingga karya ini dapat dianggap mengandung nilai sejarah filsafat China yang tinggi.
Bagaimanapun para sarjana modern merasa terusik atas keberadaan I Cing dalam kumpulan klasik ajaran Confucius dengan alasan Confucius selalu berusaha menghindari membicarakan sesuatu yang bersifat esoterik.
Hal ini dapat dimengerti karena para pengikut Confucius pada masa dinasti Han (sekitar abad ke-2 SM) yang sangat terpengaruh oleh praktek Taois mengenai kekekalan, telah melakukan penyesuaian penggunaan I Cing dengan menambahkan beberapa komentar sesuai ajaran Confucius.
Selanjutnya mereka memasukkan I Cing sebagai bagian dari Wu Cing.